Melawan korupsi di indonesia seperti melawan angin

Melawan korupsi dan koruptor di Indonesia seperti
melawan angin. Korupsi dan koruptor yang menjadi
ancaman kelangsungan hidup bangsa ini, tak pernah
berhasil diberantas. Karena aparat negara dan aparat penegak hukum sudah ikut terlibat dalam praktek korupsi. Korupsi terus berkembang biak, seperti predator, sangat menakutkan bagi masa depan bangsa Indonesia.


Korupsi mulai zaman Soekarno, Soeharto, sampai SBY, bukan semakin berkurang, justru jumlah kekayaan negara yang dikorup, terus meningkat. Jumlah uang negara yang dikurop semakin bertambah banyak. Para koruptor di era Reformasi ini, semakin berani dengan terang-terangan, melakukan korupsi, tak ada rasa takut. Bahkan di era Reformasi telah dibuat Tap MPR, yang eksplisit tentang pemberantasan korupsi, tetapi tak berpengaruh apa-apa. Indonesia menjadi negara 'kleptokrat' (negara maling), karena saking
banyaknya kejahatan korupsi. Para pelaku korupsi tak takut. Karena mereka tahu persis, hukuman yang mereka dapatkan, ringan.

Hukuman penjara tak membuat mereka takut.
Belakangan ada pejabat yang sudah di vonis oleh
pengadilan, akibat korupsi, masih tetap dilantik
menjadi pejabat, dan dihadiri oleh tokoh-tokoh, dan pemimpin partai. Para koruptor bisa keluar masuk penjara dengan mudah. Mereka bisa melakukan perjalanan ke mana saja, kapan saja, sesuai dengan keinginannya. Mereka bisa bekerjasama dengan aparat. Penjara bukan sesuatu yang menakutkan.

Mereka bisa hidup dengan nyaman di penjara. Ini tergambar dari semua pelaku tindak kejahatan korupsi. Misalnya, negara tidak dapat bertindak tegas terhadap tokoh mafia pajak, Gayus tambuna.
Kasusnya sudah satu tahun. Sampai sekarang tak
selesai, dan terus berlarut-larut, bahkan kapolri timur pradopo sempat menjanjikan kepada masyarakat dalam 10 hari bisa menyelesaikan kasus gayus, tapi ternyata skrg kasus tsb semakin menjadi polemik bangsa ini.

Gayus Tambunan bisa keluar-masuk penjara sesukanya. Bisa pergi ke Bali, Singapura, Malaysia, dan Macau. Negara benar-benar diatur oleh para koruptor dan mafia, seperti Gayus. Kekayaan egawai Ditjen Pajak, golongan III A ini, konon lebih dari Rp 100 miliar. Dari mana semua uang begitu banyak yang dimilikinya? Gayus memiliki rumah mewah di Kelapa Gading, mobil mewah, dan sejumlah kekayaan lainnya, yang kini disimpan di luar negeri. Berapa kekayaan pejabat lainnya, di lingkungan Ditjen Pajak, dan juga para pejabat di Republik ini? Banyak pejabat dan pejabat publik yang memiliki kekayaan luar biasa. Tak jelas asal muasal kekayaan yang mereka miliki.

Ini sudah menjadi fenomena umum. Tentang kehidupan para pejabat yang kaya, dan memiliki kekayaan yang melebihi dari gaji, yang mereka terima. Sekarang ada usulan merevisi Undang Undang (UU) KPK, dan ada keinginan memasukkan pasal pembuktian terbalik. Artinya, klausul dalam revisi UU itu, seseorang harus dapat membuktikan tentang asal-muasal kekayaan yang dimilikinya. Misalnya, Gayus yang menjadi pegawai Ditjen Pajak,
golongan III A, yang gajinya (take home paynya) tidak lebih dari Rp 13 juta/ bulan, tetapi memiliki kekayaan nilainya Rp 100 miliar, lalu dari mana sumber kekayaannya itu? Semuanya harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang valid.

Selama ini, banyak pejabat yang sudah mengisi daftar kekayaan yang sudah diserahkan kepada KPK, dan dengan kekayaan yang berlebih, kemudian
mengatakan mendapatkan kekayaan itu dari hibah.
Seorang mantan pejabat memiliki kekayaan bermiliar, memiliki rumah di AS dan Australia. Dari mana semuanya kekayaan itu? Semuanya harus dibuktikan dengan bukti-bukti. Sebenarnya revisi UU KPK ini, sebagai langkah awal, yang akan menjadi alat bagi penegak hukum, menghadapi tindak kejahatan korupsi yang sudah sangat akut atau parah, dan mengkawatirkan bagi kehidupan
bangsa. Karena, sejatinya kejahatan korupsi itu,
sudah merupakan kejahatan 'extra ordinary crimes' (tindak kejahatan yang luar biasa), yang sangat membahayakan dan mengancam seluruh sendi sendi bangsa secara keseluruhan.

Karena itu, perlu ada tindakan, yang sifatnya ekstra, dan menggunakan payung hukum yang kuat dan pasti. Tentu adanya upaya memasukkan klausul atau pasal dalam revisi UU KPK, tentang pembuktian terbalik, pasti menimbulkan beragam pendapat di masyakat, dan kalangan partai-partai politik, yang mempunyai kepentingan langsung. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Memasukkan klausul atau pasal tentang pembuktian terbalik dalam revisi UU KPK itu, pasti menimbulkan pro-kontra. Ini gambaran nyata, tentang sikap dan pandangan bangsa terhadap korupsi.

Entah sampai kapan bangsa kita menjadi bangsa yang bersih dari praktek2 korupsi dan suap setidaknya indeks korupsi tidak berpatok pada angka 2,8 sebagai negara terkorup se asia pasifik. Kita sebagai rakyat rasanya pesimis negara bisa menghilangkan budaya korupsi, liat saja dengan mata telanjang, rasanya tidak perlu pada jabatan yg lebih tinggi, masuk jadi PNS saja harus pakai uang pelicin alias sogok (tidak sehat) dan hal tsb sudah bukan sesuatu yang sifatnya rahasia. Praktek2 tsb sudah menjangkit pada banyak eleman dan rasa rasanya bangsa kita melawan korupsi sama saja dengan melawan angin....

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkanlah komentar anda di sini

Baik tidaknya artikel ini hanya pada sebatas tujuan untuk berbagi. baik itu informasi, inspirasi ataupun sekedar basa basi. Baca juga artikel yang lain, terima kasih...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More