Dalam setiap sesiapa yang menyapa aku dalam kebosananku, di tiap kesempatan itu pula senyumku hanya menyudut di bekas senyuman esok lalu. Hanya bisa membawa pada apa yang kemarin menjadi catatan buruk aku, dengan segala kesadaranku.
Ingat malam itu, kalau sepasukan dosa aku mulai berbaris bergilir peran. Pada malam itu juga kesadaran aku mulai berkurang saat dimana peran naluri sudah kalah telak oleh sepasukan emosi yang terus menguasai.
Pendosa malam, menjadi stempel aku yang sudah di laknat malam atas sesuatu yang sudah aku perankan. Memerankan tokoh tokoh yang sudah di vonis buruk oleh tangan tangan Tuhan.
Ahh, buruk rupa menjadi cermin aku di mata-Mu, rupanya nyali aku yang memikul dosa telah menjadikanku buruk sangka, kepada siapa saja. Hingga jatuhku-pun sekonyong konyong harus menyalahkan mereka. Sampai malam itu menjadi buta untuk menjelaskan tentang dosa anak manusia.
Bulan hanya bisa menjadi penyedap malam, tak mampu mengubah rasa tawar dari rasa anyir yang berkepanjangan. Pendosa malam, nama itu sudah menjadi tanggungan yang siap menjadi teman teman, saat di mana semua kesiapan belum di tunggangi dengan kesadaran dan iman.
Izinkan aku mengganti peran dengan segala kesanggupan dan kesiapan, dari pendosa malam menjadi sang pengumpul kalam kalam Tuhan.
** RP/YF
Imyu, 11 oktober 2012
Gambar dari Google
Terimksih utk tulisanya, bsa belajar bagaimana bsa menulis sebagus ini. salam
ReplyDeleteterimakasih juga atas kunjunganya :)) salam ukhuwah
Delete