Mimpi Yang Membunuh Pagi



Rumah itu seperti kosong, terkesan tidak berpenghuni. Hanya daun daun kering yang sudah lama jatuh tak terbuang di halaman rumahnya. Malam pun sama, hanya lampu kamar tengah yang sengaja menyala. Tidak ada kehidupan dari bayangan kejauhan, rumah itu seperti sengaja di tinggal pergi jauh oleh pemiliknya, entah kemana. menyisakan pertanyaan beberapa orang, ini rumah punya siapa?

Di sisi lain, tepat di seberang rumah yang nampak kosong itu hadir sebuah rumah yang terlihat megah, mewah dan bak istana. Dari bayangan orang orang yang sengaja melintas di depan rumahnya, jadi membayangkan seperti surga. Halamanya luas, penuh bunga bunga, harumnya menyeberang ke hidung tetangga.

Saya harap ada sisa petunjuk untuk bisa mengantar saya pada jalan pulang. Saya terjebak pada dua jalan yang menawarkan dua pilihan dan ragam rahasia. Mau ke arah kanan atau ke kiri? Semuanya punya muara masing masing. Dalam kebingungan tersebut, saya sengaja menepi di pinggir jalan. Tidak ada orang, sesekali hanya ada pemandangan indahnya bulan yang mengintip dari kejauhan. Saya sengaja mencari tempat duduk untuk meluangkan waktu jeda selama pencarian, mencari jalan pulang.

Ini malam sepertinya tidak selalu mengabarkan kebaikan, ia memilih bungkam dengan segala sesuatunya yang menyimpan banyak pertanyaan. Saya hanya duduk diam, sesekali mencari tanda tanda di mana saya akan menemukan jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang sekarang masih di simpan. Persis tidak jauh dari posisi dimana saya duduk, ada dua rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah di belah jalan. Jalan di mana saya sedang mencari petunjuk untuk segera pulang. Rumah yang satu nampak sepi tak berpenghuni, seperti tidak ada tanda tanda kehidupan. Rumah yang satunya lagi serupa istana kerajaan, mewah dan megah.

Di tengah lamunan saya yang sudah hampir lama, tiba tiba ada seorang kakek tua menanyakan kepergian seorang cucunya. " sedari tadi saya sama sekali tidak melihat orang lain lewat kek " jawab saya dari pertanyaan kakek tadi.

Kakek berkemeja putih itu nampak kebingungan, dari pesan wajahnya yang kerap kali melipat jidat, berkerut, atau hanya sebuah proses alami dari seseorang yang sudah berusia lanjut. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak saya ketahui. Menanyakan kalau mau ke pasar senen itu lewat jalan mana? "saya kurang begitu tahu kek, mungkin bisa menanyakan sama orang yang lebih tahu". Kakek hanya bisa memahami dari jawaban saya tadi.

Kakek hanya bisa diam, sesekali membetulkan sarungnya yang mulai turun menyapu tanah, ia kemudian melepaskan tutup kepalanya, benda itu serupa kopyah, tapi berwarna putih. Lalu sengaja menempelkanya tepat di mukanya sendiri. Menutupi seluruh wajah tuanya. Saya hanya diam menyaksikan, Sejurus kemudian kakek tadi mengatakan dengan pelan. "kita berdua sesungguhnya dalam kebingungan, mencari petunjuk jalan".

Saya membatin, karena benar juga apa yang barusan di katakan kakek tadi. Saya mencari jalan pulang, sedangkan kakek tadi mencari seorang cucunya yang belum juga pulang. Dari serangkain waktu yang sudah mempertemukan keduanya di tempat yang sama, tiba tiba hujan lebat langsung mengusir keduanya. Berlari mencari perlindungan. Kakek sengaja memilih teras rumah yang tak berpenghuni, sedangkan anak muda itu memilih rumah yang menyerupai kerajaan, tepatnya di muka pagar halaman.

Tidak lama kemudian sosok tubuh kakek tadi hilang dari penglihatan. Di makan derasnya samar air hujan. Saya terkejut, kemana gerangan? Apakah ia hilang seperti rumah itu yang kehilangan para penghuninya. Apakah ia takut untuk berlama lama di tempat seram seperti itu. Atau ia hanya tersadar bahwa membebaskan diri dari rasa yang tidak aman adalah dengan segera mencari jalan lain untuk sekedar bisa menyelamatkan. Tentang pencarian cucu kesayanganya. Sekelabat tubuh kakek tadi sudah jauh menembus barikade hujan di ujung jalan sana. Mencari cucunya yang lama tak pulang ataukah hilang. Saya hanya memangku hujan, dalam diam dan kebingungan.

Hujan mulai turun lahan dengan pelan, saya masih diam di depan rumah mewah, asik memandangi rumah itu dengan segala keindahanya. Batu pualam, bunga melati, kolam yang berisi ikan hias berwarna warni. Semuanya bisa saya lihat walopun dari kejauhan. Pada akhirnya hanya menenggelamkan saya pada lamunan. "Dan tidak selamanya keindahan itu selalu membawa kebaikan".

Dalam lamunan saya yang begitu hebat, sekejap saya mendadak di kagetkan dengan kemunculan wajah tuanya, lewat kehadiran kakek tadi. Ia menepuk pundak saya dari belakang. "kapan bisa menemukan jalan pulang, jika kamu tidak pernah punya usaha lebih dalam memaknai sebagai sebuah pengorbanan. Dalam hidup, adakalanya kita butuh sebuah pengorbanan untuk sebuah misi menemukan tujuan, sekalipun harus dengan keringat yang hampir kehabisan". Ujar suara berat kakek tadi. Saya tersadar, dan kakek itu benar benar tidak ada, entah kemana, sekalipun dalam dunia nyata. Karena itu hanya bagian dari mimpi. Mimpi yang membunuh pagi.



 

RP-yf
gambar dari sini

7 comments:

  1. kakek yang tdk pernah lelah dalam menjual keringatnya untuk menemukan tujuanya. Beda dengan anak muda yang sering terbuai dengan keindahan semu. Waah saya baca kirain bukan mimpi, masuk sbg cerpen ya :D

    ReplyDelete
  2. ngebacanya jadi kebawa cerita horor

    ReplyDelete
  3. Tak ada yang bisa menduga, apa yang ada di balik keindahan. Mungkin saja ia akan melenakan dan menjerumuskan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. dua sisi mata uang yg berbeda, tergantung bagaimana bsa memanfaatkan yg sebenar benarnya

      Delete

Tinggalkanlah komentar anda di sini

Baik tidaknya artikel ini hanya pada sebatas tujuan untuk berbagi. baik itu informasi, inspirasi ataupun sekedar basa basi. Baca juga artikel yang lain, terima kasih...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More