Syawal Di Titik Sembilan

gambar: google


Tiba masa, dimana keramaian lebaran sudah pada titik sembilan. Ya, hari ke sembilan di bulan syawal tahun ini seperti menjadi puncak dari eksodus kembalinya para pemudik ke tanah jakarta dan kota-kota besar lainya, ke tanah kota yang sudah menjadi kesibukan orang-orang. Entah yang sekedar untuk mencari peruntungan mendapatkan pekerjaan barunya, orang-orang yang masih tetep melanjutkan pekerjaanya, ataupun mereka yang kembali belajar meneruskan studi sebagai perjuanganya dulu. Semuanya seperti sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Makanya, di kampung mendadak jadi seperti sebelum kedatangan para perantau dulu. Sepi, lengang, tidak ada kebisingan, dan selalu menawarkan kesederhanaan. Dan itu yang kerap kali di rindukan mereka.

Lebaran tahun ini dirasa lebih berkesan dari tahun-tahun sebelumnya, itu yang bisa saya tangkap. Entah karena pas bulan puasa kebetulan berbarengan dengan musim pilpres, ataukah karena masih terbawa histeria piala dunia dan Jerman menjadi juaranya. Tiga moment dalam kurun sebulanan yang barangkali tidak pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Kenapa berkesan? Ya, dinilai berkesan karena banyak dari kita, siapapun, seperti sudah menjadi bagian sebagai pemeran dalam sebuah drama kolosal. Yang kemudian harus mengikuti skenario sutradara di penghujung cerita. Di idul fitri.

Beberapa hari sebelum puasa, pun hingga pada titik ramadhan, kita seperti sedang terjebak pada panasnya kompetisi sebelum pilpres. Pun setelahnya pilpres. Satu sama lain merasa punya beda pilihan, maka tidak jarang yang dulunya teman dekat kemudian harus berseberangan dan kemudian bermusuhan.

Belum lagi soal hegemoni piala dunia yang hampir tiap malam menemani orang-orang untuk begadang dan bersantap sahur. Banyak drama-drama menegangkan. Kayaknya orang-orang tidak ada yang benar-benar tidur.

Pada titik hari lebaran, disitulah sebuah momen yang menyatukan kembali umat yang dulunya tersekat karena beda pilihan, yang dulunya terkotak kotak karena berseberangan. Sekarang semuanya berbaur, saling meminta maaf, bersilaturahmi untuk kembali pada tujuan titah awal hidup dengan menguatkan tali ukhuwah. Semuanya terputihkan. Melupakan serangkaian kejadian2 selama kurang lebih 11 bulan.


Minal aidin walfaidzin mohon maaf lahir batin :)





6814
_Yayack Faqih_

4 comments:

  1. Minal aidin walfaidzin juga, sama sama....

    ReplyDelete
  2. sayang ya mas bermaafan di akar rumput pasca pilpres enggak diikuti oleh elit politiknya. Hingga hari ini masih ribut saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal ributin apa ya, kalo hanya sekedar gengsi utk menyatakan selamat kepada pemenang bukankah itu membuktikan kalo orang2 yg tidak siap kalah itu lebih menyerupai sebagai pecundang. membereskan negara adalah tanggung jawab bersama

      Delete

Tinggalkanlah komentar anda di sini

Baik tidaknya artikel ini hanya pada sebatas tujuan untuk berbagi. baik itu informasi, inspirasi ataupun sekedar basa basi. Baca juga artikel yang lain, terima kasih...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More